Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Pura-Pura Memaafkan: Luka yang Tak Pernah Sembuh di Balik Senyum Persaudaraan

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kenapa Idul Fitri dominan mohon maaf lahir batin?
Iklan

Biarlah Allah yang menilai, apakah maaf kita diterima atau hanya sekadar drama. Kita tidak bisa terus berpura-pura selamanya.

***

Ada luka yang tidak pernah benar-benar sembuh meski kata “maaf” telah diucapkan. Kita sering dipaksa keadaan untuk melupakan, padahal hati masih berdarah. Rasa sakit itu disembunyikan di balik senyum yang dipaksakan. Demi menjaga harmoni, kita memilih diam, meski jiwa berteriak. Beginilah wajah persaudaraan yang penuh dilema antara cinta dan luka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memaafkan memang indah, tetapi apakah kita benar-benar ikhlas? Ada kalanya maaf lahir hanya sekadar formalitas. Kata-kata terucap, namun hati masih menolak. Di dalam dada, bayangan penghianatan terus menghantui. Kita pura-pura legowo, padahal sebenarnya rapuh.

Persaudaraan sering kali menuntut pengorbanan yang lebih besar daripada logika pribadi. Kita memilih memaafkan demi keluarga, meski jiwa menolak. Ego harus ditekan, meski hati terluka parah. Ada kalanya kita rela “mati rasa” demi tidak memutus tali silaturahmi. Namun, apakah ini bentuk keikhlasan, atau hanya kepura-puraan?

Senyum yang kita pasang di wajah seringkali hanyalah topeng. Senyum itu tidak lahir dari hati, melainkan strategi untuk menjaga kedamaian semu. Di hadapan orang banyak, kita terlihat lapang dada. Namun di kamar sepi, air mata tetap jatuh. Antara senyum dan tangis, hati kita seperti terbelah dua.

Batin bergejolak, antara ingin jujur atau tetap berpura-pura. Kita ingin berkata bahwa sakit ini belum sembuh, bahwa luka masih menganga. Tetapi lidah tidak kuasa mengucapkan, karena takut merusak silaturahmi. Akhirnya kita memilih diam. Diam yang terasa seperti racun dalam jiwa.

Pura-pura ikhlas adalah pilihan yang pahit, namun kadang dianggap satu-satunya jalan. Kita ingin menjaga kehormatan keluarga, menjaga hubungan baik. Tetapi di balik itu, hati terus menjerit. Luka yang dipendam semakin dalam. Memaafkan tanpa ikhlas bagaikan menutup luka dengan kain kotor.

Ada rasa bersalah ketika kita sadar maaf yang kita berikan hanyalah tipuan. Kita merasa berdosa karena tidak tulus. Namun, bagaimana lagi jika pilihan hanya antara luka atau perpecahan? Kita memilih perpecahan hati demi menghindari perpecahan keluarga. Berat, tetapi itu yang kita jalani.

Persaudaraan adalah sesuatu yang terlalu mahal untuk dikorbankan hanya karena ego. Itulah yang kita tanamkan dalam pikiran kita. Kita rela sakit sendiri demi keluarga tetap utuh. Meski hati remuk, tali persaudaraan tetap harus dijaga. Karena kita tahu, persaudaraan adalah titipan Allah yang wajib dipelihara.

Namun, di balik semua itu, ada rasa perih yang tidak terucap. Kita bertanya kepada diri sendiri, “Apakah ini jalan yang benar?” Kita khawatir hati kita menjadi mati karena terlalu sering membohongi diri sendiri. Seakan kita kehilangan rasa tulus dalam hidup. Kita menjalani hari dengan hati yang penuh pura-pura.

Memaafkan adalah ibadah, tetapi pura-pura memaafkan bisa menjadi ujian. Allah Maha Tahu isi hati manusia. Meski kita menipu orang lain dengan senyuman, kita tidak bisa menipu Allah. Allah melihat luka yang kita sembunyikan. Allah juga menilai apakah maaf kita tulus atau hanya basa-basi.

Kadang kita berharap waktu akan menghapus rasa sakit itu. Kita berharap luka perlahan sembuh, meski kita tahu itu butuh keajaiban. Setiap kali kita bertemu kembali, senyum dipaksakan lagi. Kata-kata manis keluar dari bibir, meski hati menangis. Seperti drama yang harus dimainkan demi perdamaian keluarga.

Ada ketegangan batin yang tidak mudah diredakan. Setiap doa kita panjatkan, kita meminta agar hati dilapangkan. Namun, setiap kali mengingat kesalahan yang lalu, rasa sakit kembali muncul. Luka itu seperti bekas parut yang tidak pernah hilang. Ia selalu ada, meski sudah berulang kali kita coba tutupi.

Tetapi bukankah persaudaraan lebih penting daripada dendam pribadi? Ego tidak bisa lebih tinggi daripada darah yang mengalir sama. Kita sadar, kita bukan siapa-siapa tanpa keluarga. Meski hati kita patah, persaudaraan tetaplah pondasi hidup. Maka kita terus memaksa diri untuk terus bertahan.

Pada akhirnya, kita menyerahkan semua pada Allah. Biarlah Allah yang menilai, apakah maaf kita diterima atau hanya sekadar drama. Kita tidak bisa terus berpura-pura selamanya. Hanya Allah yang bisa melapangkan hati dan menyembuhkan luka. Kita berdoa agar kepura-puraan berubah menjadi keikhlasan sejati.

Mungkin benar, pura-pura memaafkan adalah racun bagi hati. Tetapi kadang racun itu harus kita telan sendiri demi menjaga kehidupan yang lebih besar. Persaudaraan tidak boleh hancur hanya karena ego sesaat. Kita harus berani berjiwa besar meski hati menangis. Karena pada akhirnya, hanya Allah yang akan mengadili, antara ikhlas yang sejati dan pura-pura yang membunuh hati.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler